Gending Jiwo, nama desa itu.Gending berarti tembang atau lagu. Sedangkan Jiwo atau Jiwa memiliki arti benih kehidupan. Desa "Gending Jiwo" adalah desa yang sangat subur dan makmur. Keselarasan tata kehidupan di desa "Gending Jiwo" sangat terjaga keberadaannya; masyarakat sangat menghormati serta menghargai alam sebagai penyeimbang kehidupan. Sumber-sumber mata air tak pernah kering, penuh pepohonan hijau nan rindang, hamparan sawah terbentang luas, burung-burung,kupu-kupu, dan belalang bebas berterbangan di alam subur nan indah. Gambaran alam yang subur serta indah kehidupan, itulah kandungan makna dari desa yang bernama Gending Jiwo.
"Alam adalah penyangga kehidupan. Bagaimana mungkin manusia bisa hidup bila alam ini telah rusak?" Hai girls,bayangkan apa yang terjadi bila tak ada air bersih di muka bumi ini? Girls, pasti kalian semua serentak teriak; ampun-ampun! He..he.., angkat tangan dan nyerah! Bila tak ada air bersih, bumi ini serasa tong sampah, Girls. Bau badan tak sedap di mana-mana karena kalian tak pernah mandi, he..he..he. Bila air tercemar karena polusi, kekeringan karena tak ada lagi pohon-pohon, ikan-ikan pasti mati. Apa kalian akan makan "ikan plastik" alias mainan made in china? he..he.. Pasti tidak bukan.
Di suatu pagi yang cerah, diantara merdunya kicau burung-burung menyambut sinar mentari pagi, ada seorang gadis bernama Sekar Asmoro sedang berlatih tari topeng " Gending Padi." Irama musik gamelan mengalun pelan mengiringi gerak tari yang lembut, gemulai, serta anggun dari tarian topeng "Gending Padi," yang ditarikan oleh Sekar Asmoro. Ketekunan dan kecintaan Sekar Asmoro pada seni tari tradisi milik daerah asalnya justru membawanya ke kancah dunia internasional. Sekar Asmoro bukan hanya mengajarkan seni tari topeng saja, ia juga mengajarkan banyak hal pada masyarakat internasional, seperti; nilai-nilai budi pekerti, indahnya kerukunan, kebersamaan dan gotong royong, sampai falsafah hidup masyarakat desanya yang tidak dimiliki dunia barat. Falsafah itu diantaranya; "Becik Ke Titik Olo Ketoro." Bila diterjemahkan; kebenaran pasti akan tampak, dan keburukan pasti akan kelihatan meski disembunyikan.
Bertahun-tahun Sekar Asmoro berkeliling Eropa menyebarkan seni tradisi, serta pola dan nilai-nilai hidup masyarakat desanya. Akan tetapi sebaliknya yang terjadi dengan masyarakat desanya, justru sangat jauh dari akar tradisi,dan nilai-nilai kearifan. Sekarang mulai dari anak-anak, remaja,dewasa sampai kakek-nenek lebih suka berlama-lama di depan monitor, ketak-ketik keypad hp, tulis status, cengar-cengir upload foto selfi. Masyarakat sekarang jarang dan langka menjalin komunikasi dan interaksi secara nyata bersama teman, tetangga, sampai kerabat dan sanak keluarga. Jalinan dan ikatan kebersamaan yang dulunya penuh rasa, sekarang diganti lewat "dunia kaca," yaitu; gambar dan cuap-cuap yang nampak di layar monitor. Semuanya tinggal pencet, ceklak-ceklik dan anehnya dunia fantasi yang imajiner itu sangat di gandrungi mayoritas masyarakat penghuni di desa "Gending Jiwo".
Kerinduan akan kehidupan di kampung halaman "Gending Jiwo", seakan tak terbendung lagi tersimpan di dalam hati Sekar Asmoro. Sebuah kerinduan sangat mendalam yang bertahun-tahun ia simpan dalam hatinya. Dengan perasaan riang dan bahagia di dada, Sekar Jiwo ingin segera menginjakkan kedua kakinya di desanya.
Sesampainya di tanah kelahiran, Sekar Jiwo sangat kaget, bingung, yang bercampur dengan rasa kecewa melihat dan memandang wajah kampung halamannya sekarang ini. Sekar Jiwo tak lagi menemukan dan mendapati kebiasaan dari masyarakat yang dulunya berkumpul, bercerita, bersendau gurau bersama-sama mulai dari anak-anak sampai orang tua.Tak ada lagi bocah-bocah kecil main. di dalam lumpur di tengah persawahan, tak terdengar lagi tawa riang anak-anak kecil kala beramai-ramai bermain berkejar-kejaran di antara pepohonan yang teduh dan rindang.
Burung-burung, kupu-kupu, belalang yang dulu berterbangan kini tak didapati lagi dan entah kemana hilangnya. "Modernitas yang meninggalkan nilai-nilai tradisi (kearifan lokal) akan mengubah pola hidup manusia yang dulunya penuh keramahan, toleransi, serta kekerabatan berubah menjadi keras, individualis, dan materialis."
Seorang bocah kecil yang tak lagi membawa layang-layang, melainkan melangkahkan kakinya menuju "stasiun game player,'' yang melintas di depan Sekar Asmoro yang tetap menarikan tari topeng "Gending Padi," yang hampir punah, terdengar sapa dari seorang anak laki-laki itu; "Selamat Datang Di Dunia Mesin Dan Digital."